SELAMAT DATANG DI AHLUSSUNNAH KENDAL. KAJIAN RUTIN AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH BOJA, SETIAP HARI SABTU DAN AHAD DI MUSHOLA AL HIDAYAH KOMPLEK KANTOR CAMAT BOJA JALAN PRAMUKA BOJA KENDAL PUKUL 16:00-ISYA

Senin, 17 Oktober 2011

Syarat diterimanya Amal


Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin –semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada anda untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah-, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan apapun dan dari siapapun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar, yaitu :
1.         Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah Ta’ala, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali balasan pahala dari Allah Ta’ala.
2.         Tata cara pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah .
Para ulama Islam menjelaskan, bahwa dalil dari kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Ta’ala di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, di antaranya,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Artinya: “(Allah Ta’ala) Yang menjadikan mati dan hidup untuk menguji kalian, siapa dianatra kalian yang paling baik amalannya“. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh -rahimahullah- berkata –sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah -rahimahullah- (18/250) menafsirkan firman Allah Ta’ala “Siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”…“(Yaitu) Yang paling ikhlasnya dan yang paling benarnya. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasan akan tetapi belum benar maka tidak akan diterima, dan jika amalan itu benar akan tetapi tanpa keikhlasan maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya untuk Allah Ta’ala dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah  Rasulullah ”.
Dan juga firman Allah Ta’ala, “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan  Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110)
Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Maka hendaknya ia mengerjakan amalan yang shaleh’, yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah Ta’ala, ‘dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’ yaitu yang hanya diinginkan dengannya wajah Allah Ta’ala tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun dari amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala dan benar di atas syari’at Rasulullah ”.
Penjelasan Syarat Pertama: Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala menerangkan kaidah ini dalam ayat-ayatnya, diantaranya, Firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (QS. Az-Zumar: 2-3).
Dan Allah Ta’ala berfirman, ”Katakanlah: ”Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11)
Dari Abu Hurairah , Rasulullah  menegaskan dalam sabda beliau , Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy, ”Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan Aku (Allah) bersama selain Aku dalam amalan tersebut maka akan Aku tinggalkan dia dan siapa yang dia perserikatkan bersama Aku”. (HR. Muslim -lihat Fathul Majid hal. 447-)
Seseorang yang beramal harus lepas dari syirik akbar/besar (yaitu menjadikan sebahagian dari, atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk selain Allah Ta’ala). Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Allah Ta’ala berfirman mengancam Nabi Muhammad  dan seluruh Nabi sebelum beliau, ”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) yang sebelummu : ”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar : 65)
Syarat Kedua : Pemurnian Ittiba’ (pengikutan) kepada Nabi Muhammad.
Ini adalah konsekuensi syahadat yang kedua yaitu persaksian bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah Ta’ala kepada para hamba agar mengajari mereka cara menyembah kepada-Nya. Dan ini juga merupakan salah satu rukun dari syahadat yang kedua ini, yaitu tidak menyembah Allah Ta’ala kecuali dengan apa yang Rasulullah  syari’atkan.
Maka Allah Ta’ala tidaklah boleh disembah dengan ibadah yang diada-adakan (bid’ah), tidak pula dengan hawa nafsu, adat istiadat, kebiasaan, perasaan atau anggapan-anggapan yang ia pandang baik. Karena sesungguhnya asal dari ibadah itu adalah syari’at, maka akan dikatakan ibadah kalau disyari’atkan. Allah Ta’ala menegaskan, ”Katakanlah: ”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imran:31)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ”Ayat yang mulia ini adalah hakim atas semua orang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi dia tidak di atas jalan Nabi Muhammad . Karena sesungguhnya dia dusta dalam pengakuannya tersebut, sampai dia mengikuti syari’at kenabian pada seluruh ucapan dan perbuatannya.”
Dan Allah Ta’ala berfirman, ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku cukupkan pada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al-Maidah: 3)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, ”Ini adalah nikmat terbesar dari seluruh nikmat Allah Ta’ala atas ummat ini yaitu Allah Ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan nabi selain nabi mereka –shalawat dan salam Allah atas beliau-. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi, mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin, maka tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan dan tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan…”.
Maka siapa saja yang beramal dengan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah  maka amalan tersebut tertolak dan sia-sia di sisi Allah Ta’ala. Allah -’Azza wa jalla- berfirman, ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amalan itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (QS Al Furqan : 23)
Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah  telah bersabda,  ”Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697). Dan dalam lafadz Imam Muslim, ”Siapa saja yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami padanya maka amalan itu tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Dan termasuk dalil yang menunjukkan akan syarat kedua ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Al-Barro’ bin ‘Azib  , bahwa Nabi  bersabda dalam khutbah ‘Iedul Adhha, ”… dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (‘Iedul Adhha) maka tidak ada sembelihan baginya (yakni tidak syah). Maka Abu Burdah bin Niyar paman dari Al-Barro’ berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menyembelih kambingku sebelum shalat karena saya mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan dan minum dan saya senang kalau kambingku adalah hewan pertama yang disembelih di rumahku maka sayapun menyembelih kambingku dan saya sarapan dengannya sebelum mendatangi shalat”. Maka beliau  bersabda, ”Kambingmu adalah kambing daging”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqalani, ”Berkata Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah, ”Dan di dalam hadits ini terdapat (faidah) bahwa suatu amalan, walaupun bersesuaian dengan niat yang baik, (tetap) tidak diterima kecuali jika dilaksanakan sesuai dengan syari’at”. (Fathul Bary 10/17)
EMPAT GOLONGAN
Al-Imam Ibnul Qoyyim menerangkan bahwa manusia berdasarkan dua syarat ini terbagi menjadi 4 golongan, yang kesimpulannya sebagai berikut :
1.         Siapa yang dalam amalannya terkumpul kedua syarat di atas. Mereka adalah orang-orang yang menyembah Allah dengan sebenar-benarnya, karena mengikhlaskan amalan mereka hanya kepada Allah dalam keadaan mencontoh Rasulullah . Mereka tidak beramal untuk manusia karena mereka sangat mengetahui bahwa pujian manusia sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat, akan tetapi mereka mengikhlaskan ibadah mereka secara zhohir dan batin serta mereka jujur dalam mengikuti Nabi  secara zhohir dan batin.
2.         Orang yang kehilangan dua syarat ini dalam amalannya. Ini adalah keadaan kebanyakan orang-orang yang senang berbuat kerusakan dan para zindiq (orang kafir yang pura-pura masuk Islam untuk menghancurkannya dari dalam) yang mereka ini dalam beramal suatu amalan tidak memperdulikan keikhlasan di dalamnya dan tidak peduli walaupun menyelisihi sunnah Rasulullah .
3.         Orang yang beramal dengan ikhlas tapi tanpa ittiba’. Ini kebanyakannya terjadi pada orang-orang sufi dan para ahli ibadah yang bodoh tentang syari’at, yang tahunya hanya beribadah dan tidak pernah menuntut ilmu. Mereka melakukan bid’ah dalam ucapan-ucapan dan amalan-amalan mereka dengan maksud bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah akan tetapi hakikatnya perbuatan mereka tidak menambah kecuali semakin jauh dari Allah Ta’ala.
4.         Sebaliknya, orang yang memiliki ittiba’ dalam amalannya tapi meninggalkan keikhlasan, seperti keadaan orang-orang munafik, orang-orang yang senang riya’ (ingin dilihat orang) dan sum’ah (suka berbangga diri agar amalannya di dengar dan dipuji orang). Mereka ini adalah orang yang amalan mereka tidak memberikan manfaat apapun kepada mereka. (Madarijus Salikin 1/95-97)
UKURAN ITTIBA’
Bila ada yang bertanya, ”Apa ukuran yang menunjukkan bahwa kita telah mewujudkan ittiba’ kepada Rasulullah ?”. Maka kita katakan bahwa tidak akan terwujud ittiba’ sampai ibadah yang dilakukan sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah  dalam 6 perkara :
1.         Sebab Pelaksaannya. Maka siapa saja yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah tapi dia melakukan ibadah tersebut dengan sebab yang Allah Ta’ala tidak pernah menjadikannya sebagai sebab disyari’atkannya ibadah itu maka ibadahnya tidak akan diterima Allah -’Azza wa Jalla-.
Contoh: Seseorang yang merayakan maulid Nabi  dengan alasan sebagai bentuk kecintaan dan mengirimkan sholawat kepada beliau. Maka kita katakan bahwa ini bukanlah ittiba’ karena walaupun mencintai Nabi  dan mengirimkan sholawat kepada beliau adalah ibadah, akan tetapi orang ini menjadikan perayaan maulid sebagai sebab dia melaksanakan ibadah-ibadah di atas, padahal Allah Ta’ala dan RasulNya tidak pernah menjadikan maulid ini sebagai sebab/wasilah untuk mencintai dan bersholawat kepada beliau.
2.         Jenisnya. Misalnya dalam udhhiyah (hewan kurban), syari’at telah menentukan jenisnya yaitu harus dari jenis bahimatul an’am (onta, sapi, domba dan kambing). Bila ada seseorang yang berkata bahwa kambing harganya hanya sekitar Rp. 400.000,- maka saya akan menyembelih kuda yang harganya jelah lebih mahal dari kambing. Maka kita katakan bahwa ini tidaklah benar karena kuda bukan termasuk jenis yang ditentukan oleh syari’at sehingga sembelihannya tidak dianngap sebagai udhhiyah.
3.         Ukurannya. Contohnya jelas, misalnya ada seseorang yang shalat zhuhur 6 raka’at; atau berwudhu dengan 4 kali cucian dengan sengaja dan tanpa udzur yang membolehkan, maka sholat zhuhurnya serta cucian keempatnya tidak diterima karena menyelisihi tata caranya syari’at.
4.         Sifat (Tata caranya). Misalnya ada orang yang wudhu lalu mendahulukan mencuci kaki sebelum mencuci wajah atau seseorang yang shalat dan memulainya dengan sujud, maka kedua ibadah seperti ini tidak akan diterima.
5.         Waktu Pelaksanaannya. Bila ada orang yang menyembelih udhhiyahnya sebelum shalat ‘Iedul Adha maka tidak teranggap udhhiyah karena pensyari’atan sebenarnya adalah setelah shalat dan bukan sebelumnya.
6.         Tempat Pelaksanaannya. Misalnya ada orang yang beri’tikaf di kamar rumahnya; atau pergi melakukan thawaf kepada Allah Ta’ala di kuburan. Kedua ibadah ini tidak akan diterima karena i’tikaf, tempat disyari’atkannya adalah di masjid; sedangkan thawaf hanya diperbolehkan di Ka’bah bahkan perbuatan yang kedua ini bisa masuk ke dalam kategori syirik kecil karena merupakan wasilah/pengantar kepada syirik besar.
Wallahu Ta’ala A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar